Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatu, hey sobat.. di sini gue kembali nge post tentang biograf Guru mulia kiat Al-Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, ingin lebih memahaminya baca terus sampai selesai..dan berikan komentarnya :) syukron :)
Habib
Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada
20 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya, kemudian
meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang selama
tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN Sunan
Ampel, Malang.
Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus
memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di
Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.
Pada
suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah
ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib
Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin
Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana
berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.
Cahaya Manusia Pilihan
Awalnya dia berkeliling dari rumah ke rumah murid-muridnya.
Enam
bulan kemudian, seorang jama’ah datang kepadanya dengan membawa
seorang pria berumur separuh baya. Pria itu minta agar Habib Hasan
bersedia mengobati kakinya.
“Ketika itu ana bingung,
karena ana belum pernah menangani hal demikian,” kenangnya. Namun,
karena tidak ingin mengecewakan tamunya, Habib Hasan kemudian mengambil
sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian
diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di
rumah.
“Dua hari kemudian orang itu kembali kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan.
Entah
bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan
dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun
yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan,
menjadi seratus orang.
Awal 1999, Habib Umar bin Hud
Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk
menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan
berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan
amal.”
Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.
Karena
pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas
saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat
ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.
Selanjutnya,
jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar
Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis
ta’lim Al-Irfan.
Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.
Melihat
hal itu, Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta
pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama
majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”, yang maknanya “Cahaya
Manusia Pilihan”.
Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis
ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang
Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun
bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang.
Tahun 2003,
Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti
Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin
Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim
Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.
Fitnah Berdatangan
Tahun
2003 adalah tahun ujian bagi Habib Hasan. Selain ayahnya, Habib
Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun berdatangan kepadanya.
Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai majelis bid’ah, majelis
syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun tidur, ranjangnya penuh
dengan kalajengking.
Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari tidur dan berdoa.
Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua.
Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya.
Bahkan
pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu
kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah.
Kakinya sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adhim, Astaghfirullah.
Sempat
terlintas dalam benaknya akan meninggalkan kegiatan majelis ta’limnya
itu. Tapi dibatalkan, karena tidak disetujui Al-Alamah Habib
Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri.
Setelah mendapat
dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk
menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam
para shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang,
Bogor, Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan
lain-lain.
Keinginan Ibu
Suatu hari, Habib Hasan mengemukakan kepada ibunya bahwa ia ingin menikah.
Sang ibu merasa sangat bersyukur. Maklum, Habib Hasan adalah anak sulung. Lantas ibunya menyodorkan 40 foto syarifah.
Habib Hasan kemudian mengambil satu dan menyimpan di kantung bajunya tanpa melihat wajah di gambar itu.
Esok
harinya ia pergi ke Tegal, dan memakai baju yang sama. Jadi ia yakin
bahwa foto syarifah pemberian ibunya itu masih ada di kantung baju.
Namun, ketika sampai di Tegal, foto itu raib.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.
Ketika
sampai di rumah Al-‘Alamah Habib Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya
terasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan
itu adalah sebuah foto, yaitu foto syarifah pemberian ibunya.
Saat
bertemu Habib Anis, Habib Hasan minta pendapatnya tentang calon
istrinya yang wajahnya ada di dalam foto itu. Padahal sampai detik itu
ia belum melihat wajah di foto itu.
Dan ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.
Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis.
Maka
keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu.
Pada saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang
telah dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah
binti Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad,
Condet.
Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan.
Sebulan kemudian, pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.
Kini pasangan itu telah dikaruniai empat orang anak: Rogayah, 8 tahun,
Attos Abdullah, 7 tahun, Ali 6 tahun dan Abdulqodir(bulan).
Setelah
Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar. Jama’ahnya
bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan dan Timur.
Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.
Tahun
berikutnya, Habib Hasan pindah ke Kampung Manggis di depan kantor
Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta Selatan. Di situ dia membangun
rumah dan mushalla di atas tanah hibah dari H. Abdul Gofar, Hj. Nur
Utami, dan H. Masturoh.
Pada tahun itu juga Habib Hasan
mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa, yang diketuai oleh adiknya, Habib
Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia sendiri, dengan izin resmi dari
Departemen Agama.
Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.
Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.
Ulam Tiba
Pada
tahun 2007, Yayasan Nurul Musthofa mulai mendirikan gedung khusus
untuk kegiatan ta’lim di atas tanah hibah, yang terletak persis di
belakang kediaman Habib Hasan. Padahal saat itu kontur tanah tersebut
miring sehingga sulit untuk segera bisa merealisasikan pembangunan
tersebut.
Tanah itu perlu diurug. Namun untuk mengurug
dibutuhkan tanah yang tidak sedikit. Apalagi kiri-kanan lahan tanah
tersebut telah dibatasi tembok-tembok tetangga.
Ketika menyadari hal itu, Rahman, tangan kanan Habib Hasan, menyatakan pesimistis.
Namun Habib Hasan dengan tenang menjawab, “Sabar saja, nanti juga akan ada tanah untuk mengurug.”
Benar
juga, beberapa hari kemudian, Rahman menerima kedatangan tetangga
sebelah yang merencanakan ingin membuat kolam renang, sehingga akan
membuang tanah yang cukup banyak.
“Pucuk dicita, ulam tiba,” kata Rahman.
Maka, tanpa kesulitan, tanah dari tetangga sebelah dipindahkan ke rumah Habib Hasan.
Agenda Dakwah
Kegiatan
Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berjalan sejak Senin sampai Sabtu, ba’da
maghrib, yang dihadiri sekitar 300 sampai 400 jama’ah.
Malam
Senin, pembacaan kitab Syarah Ainiyah, karya Habib Ahmad bin Hasan
Alattas. Malam Selasa, pembacaan Safinatun Najah, diikuti dengan ziarah
ke Makam Habib Kuncung di Kalibata. Malam Rabu, pembacaan shalawat dan
kitab Riyadhus Shalihin. Malam Kamis pembacaan nama-nama Nabi SAW
dengan qashidahan. Malam Jum’at, pembacaan Dalailul Khairat dan kitab
Arbain Imam Nawawi, diteruskan ziarah ke makam Habib Salim bin Toha
Al-Haddad. Dan malam Sabtu, pembacaan kitab Aqidatul Awam.
Pada malam Ahad, Habib Hasan mengerahkan jama’ahanya untuk mengikuti majelis ta’lim yang berpindah-pindah sesuai undangan.
Para
jama’ah itu dikoordinir di suatu tempat yang strategis dan kemudian
membentuk konvoi menuju ke tempat acara bersama dia dan krunya dalam
iring-iringan kendaraan roda empat dan roda dua. Di sepanjang jalan
mereka mengumandangkan kalimah-kalimah tauhid dan sejenisnya.
Ketika
sampai di tujuan, di sana ribuan jama’ah yang lain telah menanti. Dan
angkasa pun dimeriahkan dengan dentuman dan kilatan kembang api.
Setelah itu, acara ta’lim dimulai dan berlangsung sekitar dua sampai tiga jam.
Sekitar jam 00.00 acara usai dan para jama’ah membubarkan diri dengan tertib.
Di rumahnya, Habib Hasan masih menggelar pengajian hingga subuh tiba....